A. Latar Belakang
Kesehatan adalah salah satu hak mendasar bagi masyarakat. Hak ini menjadi salah satu kewajiban pemerintah kepada warganya terutama bagi masyarakat miskin (Simpul Demokrasi, 2008). Thabrany (2005) menjelaskan bahwa pada tahun 2000 dan 2002, untuk pertama kalinya kata-kata”kesehatan” masuk dalam UUD 1945 yang diamandemen seperti yang tercantum pada pasal 28H UUD 1945 amandemen tahun 2000”...setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”. Selain itu, pasal 28 H tersebut semakin diperkuat dengan amandemen UUD 1945 tanggal 11 agustus 2002 dimana MPR mengamanatkan agar “Negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat” seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945. Dalam pasal 3 ayat tersebut, MPR juga menggariskan bahwa ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan...”.
Amandemen 3 pasal dalam UUD 1945 menunjukkan bahwa tujuan negara sudah semakin jelas, yaitu secara ekplisit menempatkan kesehatan sebagai bagian dari kesejahteraan rakyat yang harus tersedia merata. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (1) menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Pada pasal tersebut juga termasuk hak warga miskin memperoleh kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.
Kebutuhan biaya pelayanan kesehatan cenderung terus mengalami kenaikan sehingga kemampuan daya beli kesehatan masyarakat cenderung menurun. 80 % masyarakat membayar biaya kesehatan dari kantong sendiri. Hal ini menyebabkan jika jatuh sakit penghasilannya akan habis untuk biaya kesehatan dan terampas kesejahteraan minimum. Untuk itulah, diperlukan sistem yang menjamin kesehatan masyarakat miskin pada khususnya dan seluruh masyarakat pada ummnya. Melalui jaminan kesehatan masyarakat keterbatasan khususnya akses dan kemampuan membayar akan dapat berkurang sehingga status kesehatan akan meningkat (Mukti, 2009).
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak tahun 1998 pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998, menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang sangat mahal. Hal ini menyebabkan warga miskin mengalami kesulitan untuk mengakses kesehatan. Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) merupakan program terobosan dari pemerintah untuk menolong rakyat miskin dari kesakitan. Pada tahun 2005 pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin diselenggarakan dalam mekanisme asuransi kesehatan yang dikenal dengan Program Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin). Atas pertimbangan pengendalian biaya kesehatan, peningkatan mutu, transparansi dan akuntabilitas dilakukan perubahan mekanisme pada tahun 2008 yang dikenal dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pada awal tahun 2010 ini, ada pandangan dari Menteri Kesehatan bahwa program Jamkesmas akan diubah menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pada SJSN ini, akan dikembalikan pada program Askes yaitu berbentuk asuransi dimana anggota asuransi terdapat kewajiban membayar premi. Terdapat wacana pada SJSN ini bahwa premi masyarakat miskin dibayar oleh negara (Sugiyatmi, 2010). Namun, program SJSN ini masih diperdebatkan oleh beberapa kalangan.
B. Rumusan Masalah
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak tahun 1998 pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dari tahun 1998-2010, berbagai program jaminan kesehatan di luncurkan oleh pemerintah dengan nama yang berbeda-beda. Pada tahun 2008, program jaminan kesehatan yang diluncurkan oleh pemerintah yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Menteri yang menjabat pada waktu itu mengklaim bahwa program Jamkesmas telah berhasil. Namun, pada awal tahun 2010 terdapat wacana bahwa program jamkesmas akan diganti dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dari makalah ini yaitu bagaimanakah analisis perubahan jamkesmas menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)?
C. Pembahasan
Jamkesmas adalah program bantuan social untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu (Mukti, 2007). Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) merupakan program jaminan kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk masyarakat miskin atau kurang mampu (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Depkes 2008 dalam Rini, 2009).
Tujuan umum penyelenggaraan jamkesmas adalah meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Efektif dimaksudkan penyelenggaraan jamkesmas menjadi tepat guna. Diharapkan dengan seumber daya yang ada mampu mengatasi permasalahan. Sedangkan efisiensi dimaksudkan bahwa penyelenggaraan jamkesmas dapat dilaksanakan dengan sumber daya yang ada atau tepat sasaran. Sedangkan tujuan khusus jamkesmas adalah meningkatnya cakupan masyarakat miskin dan tidak mampu yang mendapat pelayanan kesehatan di puskesmas serta jaringannya dan dirumah sakit meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, terselenggaranya pengelolaan keungan yang transparan dan akuntabel (Mukti, 2007). Sedangkan menurut Gaol (2006), program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin di Indonesia yaitu meningkatkan derajat kesehatan dan kapasitas kerja penduduk miskin agar mampu menangkap peluang-peluang yang ada dan meningkatkan perlindungan sosial penduduk dengan mengurangi beban ekonomi akibat penyakit. Peserta program jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak mendapat pelayanan kesehatan.
Jamkesmas adalah hasil dari kebijakan pemerintah Indonesia pada masa Kabinet Indonesia Bersatu pada tahun 2008. Program pemerintah sebelumnya yaitu Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) dinilai bermasalah. Permasalahan pada program askeskin yaitu tentang kepesertaan yang belum tuntas, peran fungsi ganda sebagai pengelola, verifikator, dan sekaligus sebagai pembayar atas pelayanan kesehatan, verifikasi yang belum berjalan dengan optimal, kendala dalam kecepatan pembayaran, kurangnya pengendalian biaya, penyelenggara tidak menanggung resiko (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Depkes 2008 dalam Rini, 2009).
Peran dan fungsi ganda sebagai pengelola sebelumnya dilakukan oleh PT. Askes (Persero) yaitu sebagai verifikator dan sekaligus sebagai pembayar pelayanan kesehatan akibatnya, verifikasi dan pengendalian biaya tidak berjalan optimal. Selain itu penyelenggara PT. Askes tidak menanggung resiko karena jaminan kesehatan yang diberikan secara gratis oleh Negara Indonesia kepada warga miskinnya.
Pada program jamkesmas, peran PT. Askes (persero) hanya mengelola manajemen kepesertaan, yakni menerbitkan data base, kartu peserta, dan mendistribusikan kartu peserta dengan bantuan pemerintah daerah, serta melakukan verifikasi kepesertaan dengan menerbitkan surat keabsahan peserta (SKP). Sedangkan untuk pengelolaan dan pembiayaan program dilakukan oleh suatu Tim pengelola Jamkesmas yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan untuk menyelenggarakan program jamkesmas (Kompas, 2009).
Menurut Ali Ghufron M dalam Kompas (2009), jamkesmas merupakan lompatan yang luar biasa sebagai komitmen politik sekaligus perwujudan hak dasar manusia sesuai dengan amanat konstitusi. Kesungguhan pemerintah untuk dalam waktu relative singkat memberi perlindungan kepada masyarakat miskin sejumlah 76,4 juta adalah hal yang baik dalam rangka mewujudkan hak-hak dasar warga Negara. Diakui oleh berbagai pihak bahwa penggunaan pelayanan kesehatan meningkat mencapai angka lebih dari 392% dengan adanya jamkesmas. Penggunaan rumah sakit oleh masyarakat miskin pun meningkat lebih dari 432 %.
Namun demikian, kenyataan dilapangan banyak permasalahan teknis yang muncul dari jamkesmas. Implementasi dari jamkesmas tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tidak berbeda jauh dengan Askeskin program jamkesmas juga mengalami permasalahan yang sama. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang jamkesmas pada tahun 2009, ditemukan beberapa permasalahan, antara lain :
a. Data peserta jamkesmas masih belum akurat
Dari 868 responden terdaftar yang dipilih secara acak dijumpai 12,4% tidak memiliki kartu. Ada pula 3 % meninggal dunia, pindah alamat 3,1 %, nama tidak di kenal 9,9 %, serta 22,1% responden tidak dapat diverivikasi. Temuan ini jelas tidak adanya updating data dari pemerintah daerah. Seharusnya kuota peserta yang meninggal atau pindah alamat bisa dipindahalihkan kepada masyarakat miskin lainnya yang membutuhkan.
Hal ini diperkuat oleh Kompas edisi 9 Februari 2010 yang mengemukakan bahwa Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) masih bermasalah. Persoalan utama terkait dengan kepesertaan, yakni ketepatan sasaran penerima jaminan kesehatan itu. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, terdapat 60,13 juta orang miskin lengkap dengan nama dan alamat pada awal tahun 2009. Ketika data tersebut disinkronkan dengan data penerima jamkesmas selama ini, hanya 30-70 persen yang sama. Mukti dkk (2009), menyatakan permasalahan yang terkait dengan masyarakat miskin meliputi kriteria dan proses penetapan masyarakat miskin, sehingga masalah data masyarakat miskin selalu muncul. Terbuka kemungkinan ada yang mengikutsertakan mereka yang tidak layak untuk mendapatkan jamkesmas.
b. Sosialisasi yang belum optimal
25, 8 % dari responden tidak mengetahui apa itu jamkesmas. Hal ini berimbas pada pengetahuan responden tentang manfaat dari jamkesmas. Rata-rata 80% responden tidak tahu manfaat dari kartu jamkesmas. Informasi yang diperoleh sebagian besar (42,6 %) dari ketua RT/RW yang mana informasi tersebut sering tidak menyeluruh. Hanya 3% responden yang menjadikan TV dan koran sebagai media sumber jamkesmas. Hal ini menunjukkan kampanye besar-besaran oleh menteri kesehatan melalui media elektronik dan cetak belum efektif. Lebih lanjut, Kompas edisi 9 Februari 2010 menyatakan kurangnya sosialisasi menyebabkan banyak masyarakat miskin yang tidak mengetahui hak dan kewajiban dalam Jamkesmas.
c. Adanya pungutan dalam mendapatkan kartu
Untuk mendapatkan kartu, peserta masih dipungut biaya (7,5%). Rata-rata pungutan sebesar Rp. 10.000. aktor penarik pungutan ini 44,6 % adalah ketua RT/RW. Alasan klasik adalah sebagai biaya pengganti transportasi atau sekedar sumbangan sukarela. Bisa dibayangkan jika setiap kota di Indonesia ada hal semacam ini untuk mendapatkan kartu jamkesmas.
d. Masih adanya peserta yang tidak menggunakan kartu ketika berobat
Dari hasil riset ini diketahui bahwa 23% responden tidak menggunakan kartu ketika berobat. Adapun alasan tidak menggunakan kartu adalah tidak tahu jika dengan kartu itu pengobatan di rumah sakit dan puskesmas gratis, takut ditolak pihak rumah sakit atau puskesmas, administrasi akan dipersulit, dan mendapatkan pelayanan yang buruk. Dari hasil riset tersebut, tergambar jelas bagaimana stigma masyarakat terhadap jamkesmas.
e. Masih ada jamkesmas yang mengeluarkan biaya
Dari data dilapangan ditemukan bahwa masih ada peserta jamkesmas yang menanggung biaya sendiri padahal sudah menggunakan kartu jamkesmas. Dari temuan ini, janji pemerintah (Departemen Kesehatan) untuk menjamin (gratis) kesehatan bagi masyarakat miskin tidak terpenuhi. Lebih lanjut, Kompas edisi 9 Februari 2010 menyatakan peserta jamkesmas seharusnya tidak dipungut biaya sepeserpun, namun kenyataan dilapangan masih banyak peserta jamkesmas yang masih harus menanggung biaya pengobatan.
f. Kualitas pelayanan jamkesmas masih buruk
Adanya antrian panjang pendaftaran, sempitnya ruang tunggu, rumitnya administrasi, dan lamanya menunggu dokter menjadi hambatan pelayanan jamkesmas. Masih adanya penolakan dari pihak rumah sakit jaga merupakan cermin kegagalan dari program jamkesmas. Kompas edisi 9 Februari 2010 menyatakan masih banyak peserta jamkesmas yang tidak dilayani sebagaimana mestinya.
Beberapa pakar juga mempertanyakan tentang program jamkesmas. Menurut Thabrany dalam Eko (2009), program jamkesmas tidak mempunyai payung hukum yang jelas, bahkan cenderung melanggar Undang-Undang yang lebih dahulu lahir dari pada jamkesmas yaitu UU SJSN no. 40 Tahun 2004. Beberapa pihak bahkan merekomendasikan bahwa program jamkesmas tidak dilanjutkan oleh pemerintah. Kompas (2009), menyatakan bahwa terdapat beberapa kalangan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan Jamkesmas tidak sesuai dengan arah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang tertuang dalam UU No. 40 tahun 2004 karena Departemen Kesehatan (Depkes) seharusnya mendelegasikan pelaksanaan program jaminan kesehatan ke badan penyelenggara atau delegasi fungsional yang tugasnya memang melaksanakan jaminan kesehatan. Pemerintah seyogyanya berperan hanya sebagai regulator dan pengawas serta penyandang dana bagi masyarakat tidak mampu dan tidak perlu berperan langsung sebagai pelaksana.
Dewasa ini, berkembang sebuah wacana bahwa tidak hanya masyarakat miskin atau tidak mampu saja yang membutuhkan jaminan kesehatan. Bahkan, banyak masyarakat yang setengah kaya yang menjadi jatuh miskin karena masalah kesehatan. Menurut Mahlil Rubi (2007) dalam Thabrany (2009), berdasarkan hasil disertasi menemukan bahwa 83 % rumah tangga pembayaran kasastropik (pembayaran biaya perawatan yang melebihi 40 % kapasitas membayar) ketika satu anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya sebuah rumah tangga akan jatuh miskin karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat di RS. Berdasarkan fenomena tersebut maka diperlukan sebuah jaminan kesehatan yang lebih bersifat semesta.
Berdasarkan Sugiyatmi (2010), Menteri Kesehatan yang baru menyatakan bahwa pelaksanaan jamkesmas akan ditinjau ulang, diganti, atau tepatnya akan dikembalikan dengan system asuransi. Menteri kesehatan juga memaparkan bahwa akan disusun sebuah roadmap menuju pelaksanaan Jaminan Sosial Nasional atau Jaminan Kesehatan Semesta, sebuah jaminan yang tidak hanya mencakup masyarakat miskin, akan tetapi diperluas untuk seluruh masyarakat.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu bentuk perlindungan social untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sistem ini diharapkan dapat mengatasi masalah mendasar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, kecelakaan, pensiun, hari tua, dan santunan kematian. Jaminan kesehatan dalam SJSN diselenggarakan secara nasional dengan menerapkan prinsip asuransi kesehatan sosial. Diselenggarakan secara nasional untuk dapat memenuhi prinsip portabilitas bahwa jaminan kesehatan bisa dinikmati di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Hafidz (2009), meskipun berbentuk asuransi bukan berarti masyarakat miskin yang harus membayar premi. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka bagi masyarakat kurang mampu, premi asuransinya menjadi tanggungan Negara.
Menurut Thabrany (2009) yang juga merupakan anggota dari tim perumus SJSN menjelaskan bahwa terdapat lima esensi dari SJSN, yaitu :
a. Konsep SJSN merupakan upaya membuat platform yang sama bagi pegawai negeri, pegawai swasta, dan pekerja di sektor informal dalam menghadapi risiko social ekonomi di masa depan. Undang-undang SJSN mengatur agar setiap penduduk (nantinya, mungkin 10-20 tahun mendatang) memiliki jaminan hari tua atau pensiun, termasuk sewaktu menderita disability ataupun jaminan bagi ahli waris jika seseorang pencari nafkah meninggal dunia
b. Dalam konsep SJSN mengubah status badan hukum Badan Penyelenggara yang ada sekarang, PT. Taspen, PT. Asabri, PT. Askes, dan PT. Jamsostek, menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak bertujuan mencari laba untuk kas Negara.
c. SJSN memastikan bahwa dana yang terkumpul dari iuran dan hasil pengembangannya dikelola hanya untuk kepentingan peserta. Iuran, akumulasi iuran, dan hasil pengembangannya adalah dana titipan peserta dan bukan penerimaan atau asset badan penyelenggara.
d. SJSN memastikan agar pihak contributor atau pengiur atau tripartite (yaitu tenaga kerja, majikan, dan pemerintah) memiliki kendali kebijakan tertinggi yang diwujudkan dalam bentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (semacam Majelis Wali Amanat) yang diwakili 2 orang serikat pekerja, 2 orang serikat pemberi pekerja, 5 orang wakil pemerintah, dan 6 orang wakil tokoh masyarakat/ahli. Organ DJSN ini akan memastikan agar pengelolaan program jaminan social steril dari pengaruh politik pemerintah.
e. Program jaminan harus berskala nasional untuk menjamin portabilitas dan seluruh penduduk Indonesia. Jaminan harus portable, hal ini berarti tidak boleh hilang ketika berada di luar kota tempat tinggalnya.
Dalam hal jaminan/Asuransi Kesehatan, UU SJSN menggariskan penyelenggaraan jaminan/asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat. Rancangan SJSN mempersiapkan jaminan kesehatan yang sama antara pegawai swasta, pegawai negeri maupun yang bekerja mandiri beserta anggota keluarganya. Jaminan kesehatan tidak dibatasi sampai anak kedua, ketiga, karena pada hakikatnya setiap penduduk Indonesia mempunyai hak yang sama.
Wacana perubahan jamkesmas menuju SJSN yang dikeluarkan oleh menteri kesehatan yang baru mengundang pro dan kontra. Di sisi lain, implementasi ideal dari SJSN masih menemui berbagai kendala. Berbagai peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan serta Undang-Undang untuk pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sampai saat ini belum terbentuk. Kompleksitas implementasi SJSN di samping Badan Penyelenggara yang harus di bentuk dengan Undang-Undang No 40/2004 pasal 5 ayat (1), juga terletak pada pengaturan teknis berbagai program dalam SJSN yakni jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun. Tampaknya memang masih diperlukan komitmen tinggi dan kesungguhan dari berbagai pihak pengambil kebijakan untuk mewujudkannya (Kompas, 2009).
Menurut Ali Ghufron M dalam Suara Pembaharuan (2009), program SJSN terlalu ambisius, tidak melihat realitas dilapangan. Lebih lanjut menurut Ali Ghufron, pada dasarnya program Jamkesmas sudah menjawab semangat pelaksanaan kearah SJSN meskipun baru sebagian masyarakat yakni masyarakat miskin yang sudah terjamin. Prinsip dasar yang dilaksanakan dalam jamkesmas, sebenarnya sudah sejalan dengan arah SJSN dengan mengadopsi beberapa prinsip asuransi sosial yakni dikelola secara nirlaba, sasaran kepesertaan yang jelas melalui pembentukan data base kepesertaan, pengendalian biaya klaim melalui verifikasi, dan pengendalian mutu dan biaya pelayanan dengan pembiyaan prospektif. Pembiayaan bagi masyarakat miskin menjadi tanggung jawab Negara. Arah dari Jamkesmas sudah benar, meskipun begitu masih banyak persoalan-persoalan teknis pada implementasinya. Hal senada juga di sampaikan oleh Ascobat Gani dalam Kompas (2009), yang menyatakan agar program jamkesmas terus dijalankan akan tetapi perlu dibenahi targeting kepesertaannya, pendataan orang miskin, dan juga sistem pembayarannya.
Menurut Ali Ghufron M dalam Suara Pembaruan (2009), untuk menjadikan program SJSN yang idealis menjadi operasional masih terdapat beberapa masalah. Terdapat beberapa persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadikan program SJSN ini menjadi operasional, yaitu aspek politis, ekonomis, dan teknis. Pertama masalah politis, dalam perkembangannya belum tercapai komitmen yang jelas secara politis dan kepentingan politis serta konsesus politis antar berbagai pihak pemangku kepentingan. Kedua aspek ekonomi, dibanyak Negara program jaminan social dimulai dan dapat terselenggara dengan pendapatan perkapita lebih dari US $ 2.000. Pendapatan perkapita saat ini mulai menginjak US $ 2.000. Meski demikian, struktur ekonomi terutama struktur formal harus diperkuat terlebih dahulu. Ketiga yaitu permasalahan teknis, sampai saat ini belum ada hitungan yang dapat diterima oleh semua pihak tentang biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan SJSN. Bahkan biaya untuk satu jaminan kesehatan saja belum ada hitungan resmi yang bisa menjadi acuan.
D. Kesimpulan
Perubahan jamkesmas menjadi SJSN merupakan isu yang wajar karena program jamkesmas tidak sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Meskipun begitu, ada beberapa kalangan yang menyatakan program SJSN merupakan program yang terlalu ambisius dan jauh dari realitas lapangan. Sehingga dibutuhkan kerja keras dari semua pihak untuk implementasi yang ideal dari UU tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Eko, C. 2009. Program Jamkesmas Akan Dihapus. http://www.kpmak.ugm.ac.id
Gaol, J.L. 2006. Implementasi Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara. Tesis: Universitas Gadjah Mada.
Hafidz, F. 2009. Gotong Royong Mengatasi Biaya Kesehatan. http://www.kpmak.ugm.ac.id.
ICW. 2009. JAMKESMAS: Hak Sehat Warga Miskin Masih Terabaikan. http://www.antikorupsi.org
Kompas. 2009. Jaminan Kesehatan Masyarakt (Jamkesmas): Masih Relevankah Dipertentangkan dengan SJSN?. http://www.kpmak.ugm.ac.id
Kompas. 2010. Data Jamkesmas Simpang Siur. Kompas Edisi Selasa, 9 Februari 2010.
Mukti, A.G. 2007. Reformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan Prospek ke Depan. Yogyakarta: PT. Karya Husada Mukti.
Mukti, A.G. 2009. SJSN, Program Idealis Miskin Operasional. Jakarta: Suara Pembaruan.
Mukti, A.G. 2009. Pengembangan Jaminan Pembiayaan Kesehatan Dalam Konteks Kesejahteraan Minimum: Studi Kasus Di Indonesia. Dipaparkan dalam Seminar Nasional “Kesejahteraan Sosial Minimum” Dalam Rangka Dies Natalies Ke 60 UGM.
Rini, A.A. 2009. Evaluasi Pelaksanaan Verifikasi pada Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Propinsi D.I. Yogyakarta. Tesis: Universitas Gadjah Mada.
Simpul demokrasi. 2009. Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin. http://www.simpuldemokrasi.com
Sugiyatmi, T.A. 2010. Jamkesmas atau Jamsosnas?. http://www.kpmak.ugm.ac.id
Thabrany, H. 2009. Sakit, Pemiskinan, dan MDGs. Jakarta: PT. Kompas.
Cari Artikel
Rabu, 31 Maret 2010
Minggu, 21 Februari 2010
INFORMED CONSENT DALAM KONDISI KEGAWATDARURATAN
Persetujuan tindakan medik adalah terjemahan yang sering dipakai untuk istilah informed consent. Informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Informed consent mempunyai fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent).
Pasien sebagai individu mempunyai otonomi harus memberikan persetujuan terlebih dahulu terhadap pemeriksaaan medis, pengobatan, atau tindakan medis yang akan dilakukan terhadap tubuhnya setelah mendapat penjelasan dari dokter. Persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan), yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan).
2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak diinginkan yang mungkin timbul.
3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi atau untuk pasien.
4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung.
5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaga.
6. Prognosis mengenai kondisi medis pasien jika ia menolak tindakan medis tertentu tersebut.
Persetujuan tindakan medik diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Menurut pasal 45 (1) dinyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada ayat (2) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap”. Lebih lanjut pada ayat (4) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan” dan pada ayat (5) di jelaskan “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan”. Ketentuan lebih mendalam tentang persetujuan tidakan medik akan diatur dengan peraturan menteri sebagaimana yang dijelaskan pada ayat (6).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.
Dalam istilah ilmu hukum perdata yang melakukan pengurusan kepentingan orang lain dinamakan zaakwaarnemer atau gestor (dokter) sedangkan yang mempunyai kepentingan dinamakan dominus (pasien). Untuk menentukan apakah suatu perbuatan seseorang merupakan zaakwaarneming atau tidak, perlu dilihat apa yang terdapat di dalam perbuatan itu. Syarat-syarat adanya zaakwaarneming adalah sebagai berikut:
a. Yang diurus (diwakili) oleh zaakwaarnemer adalah kepen¬tingan orang lain, bukan kepentingan dirinya sendiri.
b. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan zaakwaarnemer dengan sukarela, artinya karena kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan/upah apapun, dan bukan karena kewajiban yang timbul dari undang-undang maupun perjanjian.
c. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan oleh zaakwaarnemer tanpa adanya perintah (kuasa) melainkan atas inisiatif sendiri.
d. Harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindak sebagai zaakwaarnemer misalnya, keadaan yang mendesak untuk berbuat.
Dalam konteks kesehatan, dalam keadaan yang mendesak seperti dalam keadaan kegawatdaruratan maka dokter dapat melakukan tindakan medik untuk menyelamatkan jiwa atau penyelamatan anggota tubuh pasien tanpa persetujuan.
KESIMPULAN
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, E.K. 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia.
Guwandi, J. 2008. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Komalawati, V. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Pramana, B.T. 2007. Tinjauan Yuridis Terhadap Informed consent Sebagai Dasar Dokter Dalam Melakukan Penanganan Medis Yang Berakibat Malpraktek. Skripsi : Universitas Islam Indonesia.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2008. KUH Perdata. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
Supriadi, W. C. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung : Mandar Maju.
Syahrani, R. 2006. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT. Alumni.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Informed consent mempunyai fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent).
Pasien sebagai individu mempunyai otonomi harus memberikan persetujuan terlebih dahulu terhadap pemeriksaaan medis, pengobatan, atau tindakan medis yang akan dilakukan terhadap tubuhnya setelah mendapat penjelasan dari dokter. Persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan), yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan).
2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak diinginkan yang mungkin timbul.
3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi atau untuk pasien.
4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung.
5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaga.
6. Prognosis mengenai kondisi medis pasien jika ia menolak tindakan medis tertentu tersebut.
Persetujuan tindakan medik diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Menurut pasal 45 (1) dinyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada ayat (2) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap”. Lebih lanjut pada ayat (4) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan” dan pada ayat (5) di jelaskan “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan”. Ketentuan lebih mendalam tentang persetujuan tidakan medik akan diatur dengan peraturan menteri sebagaimana yang dijelaskan pada ayat (6).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.
Dalam istilah ilmu hukum perdata yang melakukan pengurusan kepentingan orang lain dinamakan zaakwaarnemer atau gestor (dokter) sedangkan yang mempunyai kepentingan dinamakan dominus (pasien). Untuk menentukan apakah suatu perbuatan seseorang merupakan zaakwaarneming atau tidak, perlu dilihat apa yang terdapat di dalam perbuatan itu. Syarat-syarat adanya zaakwaarneming adalah sebagai berikut:
a. Yang diurus (diwakili) oleh zaakwaarnemer adalah kepen¬tingan orang lain, bukan kepentingan dirinya sendiri.
b. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan zaakwaarnemer dengan sukarela, artinya karena kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan/upah apapun, dan bukan karena kewajiban yang timbul dari undang-undang maupun perjanjian.
c. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan oleh zaakwaarnemer tanpa adanya perintah (kuasa) melainkan atas inisiatif sendiri.
d. Harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindak sebagai zaakwaarnemer misalnya, keadaan yang mendesak untuk berbuat.
Dalam konteks kesehatan, dalam keadaan yang mendesak seperti dalam keadaan kegawatdaruratan maka dokter dapat melakukan tindakan medik untuk menyelamatkan jiwa atau penyelamatan anggota tubuh pasien tanpa persetujuan.
KESIMPULAN
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, E.K. 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia.
Guwandi, J. 2008. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Komalawati, V. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Pramana, B.T. 2007. Tinjauan Yuridis Terhadap Informed consent Sebagai Dasar Dokter Dalam Melakukan Penanganan Medis Yang Berakibat Malpraktek. Skripsi : Universitas Islam Indonesia.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2008. KUH Perdata. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
Supriadi, W. C. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung : Mandar Maju.
Syahrani, R. 2006. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT. Alumni.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Sabtu, 20 Februari 2010
Aspek Hukum Praktek Mandiri Perawat
Hampir dua dekade profesi perawat Indonesia mengkampanyekan perubahan paradigma. Pekerjaan perawat yang semula vokasional digeser menjadi pekerjaan profesional. Perawat berfungsi sebagai perpanjangan tangan dokter, kini berupaya menjadi mitra sejajar dokter sebagaimana para perawat di negara maju.
Wacana tentang perubahan paradigma keperawatan bermula dari Lokakarya Nasional Keperawatan I tahun 1983, dalam pertemuan itu disepakati bahwa keperawatan adalah pelayanan profesional. Mengikuti perkembangan keperawatan dunia, perawat menginginkan perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Dulu membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan.
Tuntutan perubahan paradigma ini tentu mengubah sebagian besar bentuk hubungan perawat dengan manajemen organisasi tempat kerja. Jika praktik keperawatan dilihat sebagai praktik profesi, maka harus ada otoritas atau kewenangan, ada kejelasan batasan, siapa melakukan apa. Karena diberi kewenangan maka perawat bisa digugat, perawat harus bertanggung jawab terhadap tiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 merupakan kekuatan hukum bagi perawat yang membuka praktik mandiri perawat. Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992), praktek mandiri perawat adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan, termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok. Didalam Kepmenkes 1239/2001, telah diatur sedemikian rupa tentang praktik keperawatan seperti perizinan dan praktek perawat.
Namun, dalam aplikasinya, masih terdapat perawat yang membuka praktik mandiri dan tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam Kepmenkes 1239/2001. Bahkan banyak perawat terutama di daerah yang tidak memiliki SIP dan SIP. Misalnya dari catatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Babel, dari 300 perawat di Kota Pangkalpinang belum satupun yang memiliki SIK dan SIPP, padahal banyak yang memberikan pengobatan medis kepada masyarakat. Daerah-daerah yang lain juga memiliki kasus-kasus yang hampir serupa. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya perawat yang ditangkap oleh polisi dan sweeping-sweeping yang dilakukan oleh dinas kesehatan di beberapa daerah.
Perizinan
Pada Kepmenkes 1239/2001 Pasal 8 menyebutkan bahwa perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada saranan pelayanan kesehatan, praktek perorangan dan/atau kelompok. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK. Perawat yang melakukan praktek perorangan/kelompok harus memiliki SIPP. Pada pasal 9 disebutkan, SIK diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Selanjutnya, pada Pasal 12, SIPP diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Keberadaan SIK dan SIPP merupakan hal yang wajib bagi seorang perawat yang membuka praktik mandiri. SIK dan SIPP merupakan syarat untuk mengantongi izin membuka praktik mandiri.
Pada Pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau pendidikan perawat dengan kompetensi lebih tinggi. Hal ini berarti, yang berhak membuka praktek mandiri perawat minimal perawat dengan pendidikan DIII.
Namun, ternyata terdapat kesenjangan antara kondisi ideal dengan kenyataan. Di berbagai daerah di Indonesia melaporkan adanya perawat yang membuka praktik mandiri tanpa mengantongi SIK dan SIPP. Misalkan, di salah satu daerah di Jawa Tengah, banyak perawat-perawat yang membuka praktek mandiri, namun setelah ditelusuri lebih lanjut mereka tidak memiliki SIPP. Ada sebagian yang menyatakan bahwa prosedurnya terlalu rumit sehingga tidak sempat untuk mengurusnya.
Menurut Bangka Pos (2009), berdasarkan catatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Bangka Belitung dari 300 perawat di Kota Pangkalpinang belum satupun yang memiliki SIK dan SIPP, padahal banyak yang memberikan pengobatan medis kepada masyarakat. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian Rivai (2008), sebagian besar perawat belum memiliki SIK.
Diberitakan dalam Batam Pos (2009), seorang perawat ditangkap oleh polsek setempat karena membuka praktik perawat tanpa izin dari Dina Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hal yang sama juga terjadi di Gunung Kidul Yogyakarta, banyak perawat yang membuka praktik mandiri tertangkap oleh sweeeping yang dilakukan dinas kesehatan. Lebih lanjut, menurut moderato FM (2009), seorang perawat membuka praktek mandiri tanpa izin dari dinas kesehatan setempat dan harus berurusan dengan pihak mapolres.
Tindakan perawat yang tidak mengantongi izin berupa SIK dan SIPP dapat mengarah pada malpraktek. Malpraktek merupakan kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan lmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja, tindakan kelalaian, ataupun sesuatu kekurangmahiran. Malpraktek dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni criminal malpractice, civil malpractice, dan administrative malpractice.
Tindakan perawat yang tidak mengantongi izin berupa SIK dan SIPP termasuk administrative malpractice. Pelanggaran hukum administrasi adalah sebagai jalan menuju malpraktik.
Hak dan Kewajiban
Kewajiban perawat
Salah satu kewajiban perawat berdasarkan Kepmenkes 1239/2001 menyebutkan bahwa perawat harus mencantumkan Surat Izin Praktek Perawat (SIPP) di ruang praktiknya (Pasal 21). Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad rivai dkk (2008) menunjukkan bahwa sebagian perawat belum memiliki SIPP. Hal ini berarti, terdapat perawat yang tidak memenuhi kewajiban perawat sebagaimana tercantum dalam Kepmenkes 1239/2001 yaitu mencantumkan Surat Izin Praktek Perawat di ruang praktiknya.
Dalam Kepmenkes Pasal 21 ayat (2), menyebutkan bahwa perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek. Lain halnya dengan yang terjadi di salah satu kota di Jawa Timur. Berdasarkan website alumni FIK-UI, terdapat perawat yang membuka praktik mandiri perawat dengan memasang papan nama. Walaupun, sudah memiliki SIPP, namun memasang papan nama tetap diperbolehkan.
Hak Perawat
Pernyataan hak dalam Kepmenkes 1239/2001 tidak tertulis secara jelas. Dalam Kepmenkes menentukan kewenangan dalam melaksanakan praktik keperawatan. Salah satu kewenangan perawat yang terdapat dalam Pasal 15 kepmenkes 1239/2001 yaitu pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter. Perlu digarisbawahi, pada dasarnya perawat tidak diperkenankan melaksanakan praktik medis. Hal ini mendapat perkecualian yaitu apabila terdapat permintaan tertulis dari dokter dan dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seorang pasien.
Namun, realita dilapangan menyatakan sebaliknya. Sebagian besar perawat yang membuka praktik mandiri melakukan praktik medik secara bebas, dalam artian tidak mendapat permintaan tertulis dari dokter. Seperti yang dikutip oleh Radar Madura (2009) yang menyebutkan sedikitnya ada lima lokasi perawat yang buka praktik ala dokter. Antara lain, di Kecamatan Pakong, Kota Pamekasan, Tlanakan, dan Palengaan. Kelimanya memberikan pelayanan ala rumah sakit. Lebih lanjut menurut Radar Madura, masyarakat lebih memilih praktek perawat dalam pengobatannya dikarenakan harganya murah. Hal yang sama juga terjadi di salah satu kabupaten di jawa tengah, perawat lebih memilih membuka praktek pengobatan dari pada praktek keperawatan. Hal ini dikarenakan, praktek pengobatan lebih memasyarakat dari pada praktek keperawatan.
PENUTUP
Praktik keperawatan mandiri sudah banyak dilakukan oleh perawat. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1239/Menkes/SK/IX/2001 menjadi payung hukum bagi perawat yang membuka praktik mandiri. Namun, dalam pengaplikasiannya, terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan Kepmenkes 1239/2001. Berikut ini, beberapa fakta dilapangan terkait praktik mandiri perawat :
1. Terdapat perawat yang membuka praktik mandiri tidak memiliki SIK dan SIPP.
2. Terdapat perawat yang memasang papan nama.
3. Terdapat perawat yang melakukan praktik medis dari pada praktik keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bangka Pos. 2009. Buka Praktek Harus Punya SIK dan SIPP. http://www.bangkapos.com
Batam Pos. 2009. Perawat Tidak Boleh Buka Praktik. http://www.batampos.com
Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang : Bayu Media Publishing.
Praptianingsih, S. 2006. Kedudukan Hukum Perawat Dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: PT. Raja Grafindo Prsada.
Rivai, dkk. 2008. Kebijakan Praktik Perawat.
Radar Madura. 2009. Perawat Kena Sweeping. http://www.radarmadura.com
Wacana tentang perubahan paradigma keperawatan bermula dari Lokakarya Nasional Keperawatan I tahun 1983, dalam pertemuan itu disepakati bahwa keperawatan adalah pelayanan profesional. Mengikuti perkembangan keperawatan dunia, perawat menginginkan perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Dulu membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan.
Tuntutan perubahan paradigma ini tentu mengubah sebagian besar bentuk hubungan perawat dengan manajemen organisasi tempat kerja. Jika praktik keperawatan dilihat sebagai praktik profesi, maka harus ada otoritas atau kewenangan, ada kejelasan batasan, siapa melakukan apa. Karena diberi kewenangan maka perawat bisa digugat, perawat harus bertanggung jawab terhadap tiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 merupakan kekuatan hukum bagi perawat yang membuka praktik mandiri perawat. Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992), praktek mandiri perawat adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan, termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok. Didalam Kepmenkes 1239/2001, telah diatur sedemikian rupa tentang praktik keperawatan seperti perizinan dan praktek perawat.
Namun, dalam aplikasinya, masih terdapat perawat yang membuka praktik mandiri dan tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam Kepmenkes 1239/2001. Bahkan banyak perawat terutama di daerah yang tidak memiliki SIP dan SIP. Misalnya dari catatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Babel, dari 300 perawat di Kota Pangkalpinang belum satupun yang memiliki SIK dan SIPP, padahal banyak yang memberikan pengobatan medis kepada masyarakat. Daerah-daerah yang lain juga memiliki kasus-kasus yang hampir serupa. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya perawat yang ditangkap oleh polisi dan sweeping-sweeping yang dilakukan oleh dinas kesehatan di beberapa daerah.
Perizinan
Pada Kepmenkes 1239/2001 Pasal 8 menyebutkan bahwa perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada saranan pelayanan kesehatan, praktek perorangan dan/atau kelompok. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK. Perawat yang melakukan praktek perorangan/kelompok harus memiliki SIPP. Pada pasal 9 disebutkan, SIK diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Selanjutnya, pada Pasal 12, SIPP diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Keberadaan SIK dan SIPP merupakan hal yang wajib bagi seorang perawat yang membuka praktik mandiri. SIK dan SIPP merupakan syarat untuk mengantongi izin membuka praktik mandiri.
Pada Pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau pendidikan perawat dengan kompetensi lebih tinggi. Hal ini berarti, yang berhak membuka praktek mandiri perawat minimal perawat dengan pendidikan DIII.
Namun, ternyata terdapat kesenjangan antara kondisi ideal dengan kenyataan. Di berbagai daerah di Indonesia melaporkan adanya perawat yang membuka praktik mandiri tanpa mengantongi SIK dan SIPP. Misalkan, di salah satu daerah di Jawa Tengah, banyak perawat-perawat yang membuka praktek mandiri, namun setelah ditelusuri lebih lanjut mereka tidak memiliki SIPP. Ada sebagian yang menyatakan bahwa prosedurnya terlalu rumit sehingga tidak sempat untuk mengurusnya.
Menurut Bangka Pos (2009), berdasarkan catatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Bangka Belitung dari 300 perawat di Kota Pangkalpinang belum satupun yang memiliki SIK dan SIPP, padahal banyak yang memberikan pengobatan medis kepada masyarakat. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian Rivai (2008), sebagian besar perawat belum memiliki SIK.
Diberitakan dalam Batam Pos (2009), seorang perawat ditangkap oleh polsek setempat karena membuka praktik perawat tanpa izin dari Dina Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hal yang sama juga terjadi di Gunung Kidul Yogyakarta, banyak perawat yang membuka praktik mandiri tertangkap oleh sweeeping yang dilakukan dinas kesehatan. Lebih lanjut, menurut moderato FM (2009), seorang perawat membuka praktek mandiri tanpa izin dari dinas kesehatan setempat dan harus berurusan dengan pihak mapolres.
Tindakan perawat yang tidak mengantongi izin berupa SIK dan SIPP dapat mengarah pada malpraktek. Malpraktek merupakan kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan lmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja, tindakan kelalaian, ataupun sesuatu kekurangmahiran. Malpraktek dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni criminal malpractice, civil malpractice, dan administrative malpractice.
Tindakan perawat yang tidak mengantongi izin berupa SIK dan SIPP termasuk administrative malpractice. Pelanggaran hukum administrasi adalah sebagai jalan menuju malpraktik.
Hak dan Kewajiban
Kewajiban perawat
Salah satu kewajiban perawat berdasarkan Kepmenkes 1239/2001 menyebutkan bahwa perawat harus mencantumkan Surat Izin Praktek Perawat (SIPP) di ruang praktiknya (Pasal 21). Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad rivai dkk (2008) menunjukkan bahwa sebagian perawat belum memiliki SIPP. Hal ini berarti, terdapat perawat yang tidak memenuhi kewajiban perawat sebagaimana tercantum dalam Kepmenkes 1239/2001 yaitu mencantumkan Surat Izin Praktek Perawat di ruang praktiknya.
Dalam Kepmenkes Pasal 21 ayat (2), menyebutkan bahwa perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek. Lain halnya dengan yang terjadi di salah satu kota di Jawa Timur. Berdasarkan website alumni FIK-UI, terdapat perawat yang membuka praktik mandiri perawat dengan memasang papan nama. Walaupun, sudah memiliki SIPP, namun memasang papan nama tetap diperbolehkan.
Hak Perawat
Pernyataan hak dalam Kepmenkes 1239/2001 tidak tertulis secara jelas. Dalam Kepmenkes menentukan kewenangan dalam melaksanakan praktik keperawatan. Salah satu kewenangan perawat yang terdapat dalam Pasal 15 kepmenkes 1239/2001 yaitu pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter. Perlu digarisbawahi, pada dasarnya perawat tidak diperkenankan melaksanakan praktik medis. Hal ini mendapat perkecualian yaitu apabila terdapat permintaan tertulis dari dokter dan dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seorang pasien.
Namun, realita dilapangan menyatakan sebaliknya. Sebagian besar perawat yang membuka praktik mandiri melakukan praktik medik secara bebas, dalam artian tidak mendapat permintaan tertulis dari dokter. Seperti yang dikutip oleh Radar Madura (2009) yang menyebutkan sedikitnya ada lima lokasi perawat yang buka praktik ala dokter. Antara lain, di Kecamatan Pakong, Kota Pamekasan, Tlanakan, dan Palengaan. Kelimanya memberikan pelayanan ala rumah sakit. Lebih lanjut menurut Radar Madura, masyarakat lebih memilih praktek perawat dalam pengobatannya dikarenakan harganya murah. Hal yang sama juga terjadi di salah satu kabupaten di jawa tengah, perawat lebih memilih membuka praktek pengobatan dari pada praktek keperawatan. Hal ini dikarenakan, praktek pengobatan lebih memasyarakat dari pada praktek keperawatan.
PENUTUP
Praktik keperawatan mandiri sudah banyak dilakukan oleh perawat. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1239/Menkes/SK/IX/2001 menjadi payung hukum bagi perawat yang membuka praktik mandiri. Namun, dalam pengaplikasiannya, terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan Kepmenkes 1239/2001. Berikut ini, beberapa fakta dilapangan terkait praktik mandiri perawat :
1. Terdapat perawat yang membuka praktik mandiri tidak memiliki SIK dan SIPP.
2. Terdapat perawat yang memasang papan nama.
3. Terdapat perawat yang melakukan praktik medis dari pada praktik keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bangka Pos. 2009. Buka Praktek Harus Punya SIK dan SIPP. http://www.bangkapos.com
Batam Pos. 2009. Perawat Tidak Boleh Buka Praktik. http://www.batampos.com
Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang : Bayu Media Publishing.
Praptianingsih, S. 2006. Kedudukan Hukum Perawat Dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: PT. Raja Grafindo Prsada.
Rivai, dkk. 2008. Kebijakan Praktik Perawat.
Radar Madura. 2009. Perawat Kena Sweeping. http://www.radarmadura.com
Jumat, 19 Februari 2010
Bayi Ditahan Rumah Sakit = Bentuk Pelanggaran Nilai-Nilai Kemanusiaan
Kasus yang menimpa Suharni dan Santi berikut dua bayi mereka. Keempatnya masih tertahan - 4 bulan dan 2 minggu -di RS Bersalin Sofa Marwa, Jagakarsa, Jakarta Selatan, karena tak mampu membayar biaya persalinan. Mereka tak sanggup membayar biaya operasi caesar masing-masing Rp 5 juta. Selama dalam "penyanderaan", mereka juga diwajibkan membayar biaya Rp 100.000 per hari. Kasus serupa menimpa Gatot dan istrinya. Bayi mereka disandera oleh Rumah Sakit Surabaya Medical Service (SMS) karena tak mampu membayar biaya operasi melahirkan isterinya. Pihak Rumah Sakit juga memberikan surat pernyataan, jika Gatot menyatakan mau menitipkan bayi ke rumah sakit selama paling lama 2 hari. Bila selama 2 hari tidak datang untuk mengambil bayi dan melunasi biaya, akan diserahkan ke pihak III (polisi). Yang paling menggegerkan adalah kasus yang menimpa pasangan Nurul Istiqomah (25) dan Abdul Karim (40) warga Kab. Probolinggo. Bayi perempuannya yang berusia 3 hari meninggal di RSUD Waluyo Jati. Ironisnya jenazah bayi tersebut tidak boleh dibawa pulang sebelum membayar biaya perawatan.
Kasus-kasus diatas sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pihak penyedia layanan kesehatan menyadari betul apa arti pelayanan kesehatan. Pasal 28 H (1) UUD ’45 amandemen 2002 jelas menyebutkan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan” . Ini diperkuat dengan Pasal 2 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa ‘ Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama”.
Dalam pelayanan kesehatan selau mengandung dua fungsi: fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Artinya selain memberi pelayanan juga mendapatkan keuntungan. Jika kita merujuk pada UU No 36 Tahun 2009 Sudah jelaslah bahwa dalam upaya pelayanan kesehatan maka asas perikemanusiaan menjadi faktor yang utama. Artinya fungsi sosial kemanusiaan lebih diutamakan dripada fungsi ekonomi. Pertanyaannya: apakah dokter boleh mendapatkan mendapatkan imbalan? Tentu saja boleh. Pasal 50 (d) UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik kedokteran menyebutkan bahwa “dokter berhak mendapatkan imbalan atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan”. Asalkan imbalan itu tidak lepas dari nilai perikemanusiaan dan kejujuran.
Jika kita kembali dalam kasus penahanan bayi, pihak rumah sakit tentu sudah melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan nilai sosial. Selain itu juga dalam konteks perdata, yang disita jika seseorang tidak mampu membayar adalah barang (yang mempunyai nilai ekonomis). Pertanyaannya adalah apakah bayi itu barang? Bahkan menurut saya dalam kasus-kasus tersebut pihak pasien bisa menuntut rumah sakit atas kasus penyanderaan yang dilakukan terhadap bayinya.
Akhirnya, apakah Hipokrates masih bisa tersenyum melihat nilai-nilai yag dia tanamkan dulu disesatkan oleh generasi saat ini.?
Langganan:
Postingan (Atom)