A. Latar Belakang
Kesehatan adalah salah satu hak mendasar bagi masyarakat. Hak ini menjadi salah satu kewajiban pemerintah kepada warganya terutama bagi masyarakat miskin (Simpul Demokrasi, 2008). Thabrany (2005) menjelaskan bahwa pada tahun 2000 dan 2002, untuk pertama kalinya kata-kata”kesehatan” masuk dalam UUD 1945 yang diamandemen seperti yang tercantum pada pasal 28H UUD 1945 amandemen tahun 2000”...setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”. Selain itu, pasal 28 H tersebut semakin diperkuat dengan amandemen UUD 1945 tanggal 11 agustus 2002 dimana MPR mengamanatkan agar “Negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat” seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945. Dalam pasal 3 ayat tersebut, MPR juga menggariskan bahwa ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan...”.
Amandemen 3 pasal dalam UUD 1945 menunjukkan bahwa tujuan negara sudah semakin jelas, yaitu secara ekplisit menempatkan kesehatan sebagai bagian dari kesejahteraan rakyat yang harus tersedia merata. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (1) menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Pada pasal tersebut juga termasuk hak warga miskin memperoleh kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.
Kebutuhan biaya pelayanan kesehatan cenderung terus mengalami kenaikan sehingga kemampuan daya beli kesehatan masyarakat cenderung menurun. 80 % masyarakat membayar biaya kesehatan dari kantong sendiri. Hal ini menyebabkan jika jatuh sakit penghasilannya akan habis untuk biaya kesehatan dan terampas kesejahteraan minimum. Untuk itulah, diperlukan sistem yang menjamin kesehatan masyarakat miskin pada khususnya dan seluruh masyarakat pada ummnya. Melalui jaminan kesehatan masyarakat keterbatasan khususnya akses dan kemampuan membayar akan dapat berkurang sehingga status kesehatan akan meningkat (Mukti, 2009).
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak tahun 1998 pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998, menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang sangat mahal. Hal ini menyebabkan warga miskin mengalami kesulitan untuk mengakses kesehatan. Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) merupakan program terobosan dari pemerintah untuk menolong rakyat miskin dari kesakitan. Pada tahun 2005 pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin diselenggarakan dalam mekanisme asuransi kesehatan yang dikenal dengan Program Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin). Atas pertimbangan pengendalian biaya kesehatan, peningkatan mutu, transparansi dan akuntabilitas dilakukan perubahan mekanisme pada tahun 2008 yang dikenal dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pada awal tahun 2010 ini, ada pandangan dari Menteri Kesehatan bahwa program Jamkesmas akan diubah menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pada SJSN ini, akan dikembalikan pada program Askes yaitu berbentuk asuransi dimana anggota asuransi terdapat kewajiban membayar premi. Terdapat wacana pada SJSN ini bahwa premi masyarakat miskin dibayar oleh negara (Sugiyatmi, 2010). Namun, program SJSN ini masih diperdebatkan oleh beberapa kalangan.
B. Rumusan Masalah
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak tahun 1998 pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dari tahun 1998-2010, berbagai program jaminan kesehatan di luncurkan oleh pemerintah dengan nama yang berbeda-beda. Pada tahun 2008, program jaminan kesehatan yang diluncurkan oleh pemerintah yaitu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Menteri yang menjabat pada waktu itu mengklaim bahwa program Jamkesmas telah berhasil. Namun, pada awal tahun 2010 terdapat wacana bahwa program jamkesmas akan diganti dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dari makalah ini yaitu bagaimanakah analisis perubahan jamkesmas menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)?
C. Pembahasan
Jamkesmas adalah program bantuan social untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu (Mukti, 2007). Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) merupakan program jaminan kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk masyarakat miskin atau kurang mampu (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Depkes 2008 dalam Rini, 2009).
Tujuan umum penyelenggaraan jamkesmas adalah meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Efektif dimaksudkan penyelenggaraan jamkesmas menjadi tepat guna. Diharapkan dengan seumber daya yang ada mampu mengatasi permasalahan. Sedangkan efisiensi dimaksudkan bahwa penyelenggaraan jamkesmas dapat dilaksanakan dengan sumber daya yang ada atau tepat sasaran. Sedangkan tujuan khusus jamkesmas adalah meningkatnya cakupan masyarakat miskin dan tidak mampu yang mendapat pelayanan kesehatan di puskesmas serta jaringannya dan dirumah sakit meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, terselenggaranya pengelolaan keungan yang transparan dan akuntabel (Mukti, 2007). Sedangkan menurut Gaol (2006), program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin di Indonesia yaitu meningkatkan derajat kesehatan dan kapasitas kerja penduduk miskin agar mampu menangkap peluang-peluang yang ada dan meningkatkan perlindungan sosial penduduk dengan mengurangi beban ekonomi akibat penyakit. Peserta program jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak mendapat pelayanan kesehatan.
Jamkesmas adalah hasil dari kebijakan pemerintah Indonesia pada masa Kabinet Indonesia Bersatu pada tahun 2008. Program pemerintah sebelumnya yaitu Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) dinilai bermasalah. Permasalahan pada program askeskin yaitu tentang kepesertaan yang belum tuntas, peran fungsi ganda sebagai pengelola, verifikator, dan sekaligus sebagai pembayar atas pelayanan kesehatan, verifikasi yang belum berjalan dengan optimal, kendala dalam kecepatan pembayaran, kurangnya pengendalian biaya, penyelenggara tidak menanggung resiko (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Depkes 2008 dalam Rini, 2009).
Peran dan fungsi ganda sebagai pengelola sebelumnya dilakukan oleh PT. Askes (Persero) yaitu sebagai verifikator dan sekaligus sebagai pembayar pelayanan kesehatan akibatnya, verifikasi dan pengendalian biaya tidak berjalan optimal. Selain itu penyelenggara PT. Askes tidak menanggung resiko karena jaminan kesehatan yang diberikan secara gratis oleh Negara Indonesia kepada warga miskinnya.
Pada program jamkesmas, peran PT. Askes (persero) hanya mengelola manajemen kepesertaan, yakni menerbitkan data base, kartu peserta, dan mendistribusikan kartu peserta dengan bantuan pemerintah daerah, serta melakukan verifikasi kepesertaan dengan menerbitkan surat keabsahan peserta (SKP). Sedangkan untuk pengelolaan dan pembiayaan program dilakukan oleh suatu Tim pengelola Jamkesmas yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan untuk menyelenggarakan program jamkesmas (Kompas, 2009).
Menurut Ali Ghufron M dalam Kompas (2009), jamkesmas merupakan lompatan yang luar biasa sebagai komitmen politik sekaligus perwujudan hak dasar manusia sesuai dengan amanat konstitusi. Kesungguhan pemerintah untuk dalam waktu relative singkat memberi perlindungan kepada masyarakat miskin sejumlah 76,4 juta adalah hal yang baik dalam rangka mewujudkan hak-hak dasar warga Negara. Diakui oleh berbagai pihak bahwa penggunaan pelayanan kesehatan meningkat mencapai angka lebih dari 392% dengan adanya jamkesmas. Penggunaan rumah sakit oleh masyarakat miskin pun meningkat lebih dari 432 %.
Namun demikian, kenyataan dilapangan banyak permasalahan teknis yang muncul dari jamkesmas. Implementasi dari jamkesmas tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tidak berbeda jauh dengan Askeskin program jamkesmas juga mengalami permasalahan yang sama. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang jamkesmas pada tahun 2009, ditemukan beberapa permasalahan, antara lain :
a. Data peserta jamkesmas masih belum akurat
Dari 868 responden terdaftar yang dipilih secara acak dijumpai 12,4% tidak memiliki kartu. Ada pula 3 % meninggal dunia, pindah alamat 3,1 %, nama tidak di kenal 9,9 %, serta 22,1% responden tidak dapat diverivikasi. Temuan ini jelas tidak adanya updating data dari pemerintah daerah. Seharusnya kuota peserta yang meninggal atau pindah alamat bisa dipindahalihkan kepada masyarakat miskin lainnya yang membutuhkan.
Hal ini diperkuat oleh Kompas edisi 9 Februari 2010 yang mengemukakan bahwa Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) masih bermasalah. Persoalan utama terkait dengan kepesertaan, yakni ketepatan sasaran penerima jaminan kesehatan itu. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, terdapat 60,13 juta orang miskin lengkap dengan nama dan alamat pada awal tahun 2009. Ketika data tersebut disinkronkan dengan data penerima jamkesmas selama ini, hanya 30-70 persen yang sama. Mukti dkk (2009), menyatakan permasalahan yang terkait dengan masyarakat miskin meliputi kriteria dan proses penetapan masyarakat miskin, sehingga masalah data masyarakat miskin selalu muncul. Terbuka kemungkinan ada yang mengikutsertakan mereka yang tidak layak untuk mendapatkan jamkesmas.
b. Sosialisasi yang belum optimal
25, 8 % dari responden tidak mengetahui apa itu jamkesmas. Hal ini berimbas pada pengetahuan responden tentang manfaat dari jamkesmas. Rata-rata 80% responden tidak tahu manfaat dari kartu jamkesmas. Informasi yang diperoleh sebagian besar (42,6 %) dari ketua RT/RW yang mana informasi tersebut sering tidak menyeluruh. Hanya 3% responden yang menjadikan TV dan koran sebagai media sumber jamkesmas. Hal ini menunjukkan kampanye besar-besaran oleh menteri kesehatan melalui media elektronik dan cetak belum efektif. Lebih lanjut, Kompas edisi 9 Februari 2010 menyatakan kurangnya sosialisasi menyebabkan banyak masyarakat miskin yang tidak mengetahui hak dan kewajiban dalam Jamkesmas.
c. Adanya pungutan dalam mendapatkan kartu
Untuk mendapatkan kartu, peserta masih dipungut biaya (7,5%). Rata-rata pungutan sebesar Rp. 10.000. aktor penarik pungutan ini 44,6 % adalah ketua RT/RW. Alasan klasik adalah sebagai biaya pengganti transportasi atau sekedar sumbangan sukarela. Bisa dibayangkan jika setiap kota di Indonesia ada hal semacam ini untuk mendapatkan kartu jamkesmas.
d. Masih adanya peserta yang tidak menggunakan kartu ketika berobat
Dari hasil riset ini diketahui bahwa 23% responden tidak menggunakan kartu ketika berobat. Adapun alasan tidak menggunakan kartu adalah tidak tahu jika dengan kartu itu pengobatan di rumah sakit dan puskesmas gratis, takut ditolak pihak rumah sakit atau puskesmas, administrasi akan dipersulit, dan mendapatkan pelayanan yang buruk. Dari hasil riset tersebut, tergambar jelas bagaimana stigma masyarakat terhadap jamkesmas.
e. Masih ada jamkesmas yang mengeluarkan biaya
Dari data dilapangan ditemukan bahwa masih ada peserta jamkesmas yang menanggung biaya sendiri padahal sudah menggunakan kartu jamkesmas. Dari temuan ini, janji pemerintah (Departemen Kesehatan) untuk menjamin (gratis) kesehatan bagi masyarakat miskin tidak terpenuhi. Lebih lanjut, Kompas edisi 9 Februari 2010 menyatakan peserta jamkesmas seharusnya tidak dipungut biaya sepeserpun, namun kenyataan dilapangan masih banyak peserta jamkesmas yang masih harus menanggung biaya pengobatan.
f. Kualitas pelayanan jamkesmas masih buruk
Adanya antrian panjang pendaftaran, sempitnya ruang tunggu, rumitnya administrasi, dan lamanya menunggu dokter menjadi hambatan pelayanan jamkesmas. Masih adanya penolakan dari pihak rumah sakit jaga merupakan cermin kegagalan dari program jamkesmas. Kompas edisi 9 Februari 2010 menyatakan masih banyak peserta jamkesmas yang tidak dilayani sebagaimana mestinya.
Beberapa pakar juga mempertanyakan tentang program jamkesmas. Menurut Thabrany dalam Eko (2009), program jamkesmas tidak mempunyai payung hukum yang jelas, bahkan cenderung melanggar Undang-Undang yang lebih dahulu lahir dari pada jamkesmas yaitu UU SJSN no. 40 Tahun 2004. Beberapa pihak bahkan merekomendasikan bahwa program jamkesmas tidak dilanjutkan oleh pemerintah. Kompas (2009), menyatakan bahwa terdapat beberapa kalangan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan Jamkesmas tidak sesuai dengan arah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang tertuang dalam UU No. 40 tahun 2004 karena Departemen Kesehatan (Depkes) seharusnya mendelegasikan pelaksanaan program jaminan kesehatan ke badan penyelenggara atau delegasi fungsional yang tugasnya memang melaksanakan jaminan kesehatan. Pemerintah seyogyanya berperan hanya sebagai regulator dan pengawas serta penyandang dana bagi masyarakat tidak mampu dan tidak perlu berperan langsung sebagai pelaksana.
Dewasa ini, berkembang sebuah wacana bahwa tidak hanya masyarakat miskin atau tidak mampu saja yang membutuhkan jaminan kesehatan. Bahkan, banyak masyarakat yang setengah kaya yang menjadi jatuh miskin karena masalah kesehatan. Menurut Mahlil Rubi (2007) dalam Thabrany (2009), berdasarkan hasil disertasi menemukan bahwa 83 % rumah tangga pembayaran kasastropik (pembayaran biaya perawatan yang melebihi 40 % kapasitas membayar) ketika satu anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya sebuah rumah tangga akan jatuh miskin karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat di RS. Berdasarkan fenomena tersebut maka diperlukan sebuah jaminan kesehatan yang lebih bersifat semesta.
Berdasarkan Sugiyatmi (2010), Menteri Kesehatan yang baru menyatakan bahwa pelaksanaan jamkesmas akan ditinjau ulang, diganti, atau tepatnya akan dikembalikan dengan system asuransi. Menteri kesehatan juga memaparkan bahwa akan disusun sebuah roadmap menuju pelaksanaan Jaminan Sosial Nasional atau Jaminan Kesehatan Semesta, sebuah jaminan yang tidak hanya mencakup masyarakat miskin, akan tetapi diperluas untuk seluruh masyarakat.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu bentuk perlindungan social untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sistem ini diharapkan dapat mengatasi masalah mendasar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, kecelakaan, pensiun, hari tua, dan santunan kematian. Jaminan kesehatan dalam SJSN diselenggarakan secara nasional dengan menerapkan prinsip asuransi kesehatan sosial. Diselenggarakan secara nasional untuk dapat memenuhi prinsip portabilitas bahwa jaminan kesehatan bisa dinikmati di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Hafidz (2009), meskipun berbentuk asuransi bukan berarti masyarakat miskin yang harus membayar premi. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, maka bagi masyarakat kurang mampu, premi asuransinya menjadi tanggungan Negara.
Menurut Thabrany (2009) yang juga merupakan anggota dari tim perumus SJSN menjelaskan bahwa terdapat lima esensi dari SJSN, yaitu :
a. Konsep SJSN merupakan upaya membuat platform yang sama bagi pegawai negeri, pegawai swasta, dan pekerja di sektor informal dalam menghadapi risiko social ekonomi di masa depan. Undang-undang SJSN mengatur agar setiap penduduk (nantinya, mungkin 10-20 tahun mendatang) memiliki jaminan hari tua atau pensiun, termasuk sewaktu menderita disability ataupun jaminan bagi ahli waris jika seseorang pencari nafkah meninggal dunia
b. Dalam konsep SJSN mengubah status badan hukum Badan Penyelenggara yang ada sekarang, PT. Taspen, PT. Asabri, PT. Askes, dan PT. Jamsostek, menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak bertujuan mencari laba untuk kas Negara.
c. SJSN memastikan bahwa dana yang terkumpul dari iuran dan hasil pengembangannya dikelola hanya untuk kepentingan peserta. Iuran, akumulasi iuran, dan hasil pengembangannya adalah dana titipan peserta dan bukan penerimaan atau asset badan penyelenggara.
d. SJSN memastikan agar pihak contributor atau pengiur atau tripartite (yaitu tenaga kerja, majikan, dan pemerintah) memiliki kendali kebijakan tertinggi yang diwujudkan dalam bentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (semacam Majelis Wali Amanat) yang diwakili 2 orang serikat pekerja, 2 orang serikat pemberi pekerja, 5 orang wakil pemerintah, dan 6 orang wakil tokoh masyarakat/ahli. Organ DJSN ini akan memastikan agar pengelolaan program jaminan social steril dari pengaruh politik pemerintah.
e. Program jaminan harus berskala nasional untuk menjamin portabilitas dan seluruh penduduk Indonesia. Jaminan harus portable, hal ini berarti tidak boleh hilang ketika berada di luar kota tempat tinggalnya.
Dalam hal jaminan/Asuransi Kesehatan, UU SJSN menggariskan penyelenggaraan jaminan/asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat. Rancangan SJSN mempersiapkan jaminan kesehatan yang sama antara pegawai swasta, pegawai negeri maupun yang bekerja mandiri beserta anggota keluarganya. Jaminan kesehatan tidak dibatasi sampai anak kedua, ketiga, karena pada hakikatnya setiap penduduk Indonesia mempunyai hak yang sama.
Wacana perubahan jamkesmas menuju SJSN yang dikeluarkan oleh menteri kesehatan yang baru mengundang pro dan kontra. Di sisi lain, implementasi ideal dari SJSN masih menemui berbagai kendala. Berbagai peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan serta Undang-Undang untuk pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sampai saat ini belum terbentuk. Kompleksitas implementasi SJSN di samping Badan Penyelenggara yang harus di bentuk dengan Undang-Undang No 40/2004 pasal 5 ayat (1), juga terletak pada pengaturan teknis berbagai program dalam SJSN yakni jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun. Tampaknya memang masih diperlukan komitmen tinggi dan kesungguhan dari berbagai pihak pengambil kebijakan untuk mewujudkannya (Kompas, 2009).
Menurut Ali Ghufron M dalam Suara Pembaharuan (2009), program SJSN terlalu ambisius, tidak melihat realitas dilapangan. Lebih lanjut menurut Ali Ghufron, pada dasarnya program Jamkesmas sudah menjawab semangat pelaksanaan kearah SJSN meskipun baru sebagian masyarakat yakni masyarakat miskin yang sudah terjamin. Prinsip dasar yang dilaksanakan dalam jamkesmas, sebenarnya sudah sejalan dengan arah SJSN dengan mengadopsi beberapa prinsip asuransi sosial yakni dikelola secara nirlaba, sasaran kepesertaan yang jelas melalui pembentukan data base kepesertaan, pengendalian biaya klaim melalui verifikasi, dan pengendalian mutu dan biaya pelayanan dengan pembiyaan prospektif. Pembiayaan bagi masyarakat miskin menjadi tanggung jawab Negara. Arah dari Jamkesmas sudah benar, meskipun begitu masih banyak persoalan-persoalan teknis pada implementasinya. Hal senada juga di sampaikan oleh Ascobat Gani dalam Kompas (2009), yang menyatakan agar program jamkesmas terus dijalankan akan tetapi perlu dibenahi targeting kepesertaannya, pendataan orang miskin, dan juga sistem pembayarannya.
Menurut Ali Ghufron M dalam Suara Pembaruan (2009), untuk menjadikan program SJSN yang idealis menjadi operasional masih terdapat beberapa masalah. Terdapat beberapa persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadikan program SJSN ini menjadi operasional, yaitu aspek politis, ekonomis, dan teknis. Pertama masalah politis, dalam perkembangannya belum tercapai komitmen yang jelas secara politis dan kepentingan politis serta konsesus politis antar berbagai pihak pemangku kepentingan. Kedua aspek ekonomi, dibanyak Negara program jaminan social dimulai dan dapat terselenggara dengan pendapatan perkapita lebih dari US $ 2.000. Pendapatan perkapita saat ini mulai menginjak US $ 2.000. Meski demikian, struktur ekonomi terutama struktur formal harus diperkuat terlebih dahulu. Ketiga yaitu permasalahan teknis, sampai saat ini belum ada hitungan yang dapat diterima oleh semua pihak tentang biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan SJSN. Bahkan biaya untuk satu jaminan kesehatan saja belum ada hitungan resmi yang bisa menjadi acuan.
D. Kesimpulan
Perubahan jamkesmas menjadi SJSN merupakan isu yang wajar karena program jamkesmas tidak sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Meskipun begitu, ada beberapa kalangan yang menyatakan program SJSN merupakan program yang terlalu ambisius dan jauh dari realitas lapangan. Sehingga dibutuhkan kerja keras dari semua pihak untuk implementasi yang ideal dari UU tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Eko, C. 2009. Program Jamkesmas Akan Dihapus. http://www.kpmak.ugm.ac.id
Gaol, J.L. 2006. Implementasi Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara. Tesis: Universitas Gadjah Mada.
Hafidz, F. 2009. Gotong Royong Mengatasi Biaya Kesehatan. http://www.kpmak.ugm.ac.id.
ICW. 2009. JAMKESMAS: Hak Sehat Warga Miskin Masih Terabaikan. http://www.antikorupsi.org
Kompas. 2009. Jaminan Kesehatan Masyarakt (Jamkesmas): Masih Relevankah Dipertentangkan dengan SJSN?. http://www.kpmak.ugm.ac.id
Kompas. 2010. Data Jamkesmas Simpang Siur. Kompas Edisi Selasa, 9 Februari 2010.
Mukti, A.G. 2007. Reformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan Prospek ke Depan. Yogyakarta: PT. Karya Husada Mukti.
Mukti, A.G. 2009. SJSN, Program Idealis Miskin Operasional. Jakarta: Suara Pembaruan.
Mukti, A.G. 2009. Pengembangan Jaminan Pembiayaan Kesehatan Dalam Konteks Kesejahteraan Minimum: Studi Kasus Di Indonesia. Dipaparkan dalam Seminar Nasional “Kesejahteraan Sosial Minimum” Dalam Rangka Dies Natalies Ke 60 UGM.
Rini, A.A. 2009. Evaluasi Pelaksanaan Verifikasi pada Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Propinsi D.I. Yogyakarta. Tesis: Universitas Gadjah Mada.
Simpul demokrasi. 2009. Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin. http://www.simpuldemokrasi.com
Sugiyatmi, T.A. 2010. Jamkesmas atau Jamsosnas?. http://www.kpmak.ugm.ac.id
Thabrany, H. 2009. Sakit, Pemiskinan, dan MDGs. Jakarta: PT. Kompas.
Cari Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar