Cari Artikel

Minggu, 21 Februari 2010

INFORMED CONSENT DALAM KONDISI KEGAWATDARURATAN

Persetujuan tindakan medik adalah terjemahan yang sering dipakai untuk istilah informed consent. Informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

Informed consent mempunyai fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent).

Pasien sebagai individu mempunyai otonomi harus memberikan persetujuan terlebih dahulu terhadap pemeriksaaan medis, pengobatan, atau tindakan medis yang akan dilakukan terhadap tubuhnya setelah mendapat penjelasan dari dokter. Persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan), yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan).
2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak diinginkan yang mungkin timbul.
3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi atau untuk pasien.
4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung.
5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaga.
6. Prognosis mengenai kondisi medis pasien jika ia menolak tindakan medis tertentu tersebut.

Persetujuan tindakan medik diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Menurut pasal 45 (1) dinyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada ayat (2) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap”. Lebih lanjut pada ayat (4) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan” dan pada ayat (5) di jelaskan “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan”. Ketentuan lebih mendalam tentang persetujuan tidakan medik akan diatur dengan peraturan menteri sebagaimana yang dijelaskan pada ayat (6).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.

Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.

Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.

Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.

Dalam istilah ilmu hukum perdata yang melakukan pengurusan kepentingan orang lain dinamakan zaakwaarnemer atau gestor (dokter) sedangkan yang mempunyai kepentingan dinamakan dominus (pasien). Untuk menentukan apakah suatu perbuatan seseorang merupakan zaakwaarneming atau tidak, perlu dilihat apa yang terdapat di dalam perbuatan itu. Syarat-syarat adanya zaakwaarneming adalah sebagai berikut:
a. Yang diurus (diwakili) oleh zaakwaarnemer adalah kepen¬tingan orang lain, bukan kepentingan dirinya sendiri.
b. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan zaakwaarnemer dengan sukarela, artinya karena kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan/upah apapun, dan bukan karena kewajiban yang timbul dari undang-undang maupun perjanjian.
c. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan oleh zaakwaarnemer tanpa adanya perintah (kuasa) melainkan atas inisiatif sendiri.
d. Harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindak sebagai zaakwaarnemer misalnya, keadaan yang mendesak untuk berbuat.

Dalam konteks kesehatan, dalam keadaan yang mendesak seperti dalam keadaan kegawatdaruratan maka dokter dapat melakukan tindakan medik untuk menyelamatkan jiwa atau penyelamatan anggota tubuh pasien tanpa persetujuan.

KESIMPULAN
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, E.K. 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia.
Guwandi, J. 2008. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Komalawati, V. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Pramana, B.T. 2007. Tinjauan Yuridis Terhadap Informed consent Sebagai Dasar Dokter Dalam Melakukan Penanganan Medis Yang Berakibat Malpraktek. Skripsi : Universitas Islam Indonesia.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2008. KUH Perdata. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
Supriadi, W. C. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung : Mandar Maju.
Syahrani, R. 2006. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT. Alumni.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Sabtu, 20 Februari 2010

Aspek Hukum Praktek Mandiri Perawat

Hampir dua dekade profesi perawat Indonesia mengkampanyekan perubahan paradigma. Pekerjaan perawat yang semula vokasional digeser menjadi pekerjaan profesional. Perawat berfungsi sebagai perpanjangan tangan dokter, kini berupaya menjadi mitra sejajar dokter sebagaimana para perawat di negara maju.
Wacana tentang perubahan paradigma keperawatan bermula dari Lokakarya Nasional Keperawatan I tahun 1983, dalam pertemuan itu disepakati bahwa keperawatan adalah pelayanan profesional. Mengikuti perkembangan keperawatan dunia, perawat menginginkan perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Dulu membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan.
Tuntutan perubahan paradigma ini tentu mengubah sebagian besar bentuk hubungan perawat dengan manajemen organisasi tempat kerja. Jika praktik keperawatan dilihat sebagai praktik profesi, maka harus ada otoritas atau kewenangan, ada kejelasan batasan, siapa melakukan apa. Karena diberi kewenangan maka perawat bisa digugat, perawat harus bertanggung jawab terhadap tiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 merupakan kekuatan hukum bagi perawat yang membuka praktik mandiri perawat. Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992), praktek mandiri perawat adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan, termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok. Didalam Kepmenkes 1239/2001, telah diatur sedemikian rupa tentang praktik keperawatan seperti perizinan dan praktek perawat.
Namun, dalam aplikasinya, masih terdapat perawat yang membuka praktik mandiri dan tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam Kepmenkes 1239/2001. Bahkan banyak perawat terutama di daerah yang tidak memiliki SIP dan SIP. Misalnya dari catatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Babel, dari 300 perawat di Kota Pangkalpinang belum satupun yang memiliki SIK dan SIPP, padahal banyak yang memberikan pengobatan medis kepada masyarakat. Daerah-daerah yang lain juga memiliki kasus-kasus yang hampir serupa. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya perawat yang ditangkap oleh polisi dan sweeping-sweeping yang dilakukan oleh dinas kesehatan di beberapa daerah.

Perizinan
Pada Kepmenkes 1239/2001 Pasal 8 menyebutkan bahwa perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada saranan pelayanan kesehatan, praktek perorangan dan/atau kelompok. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK. Perawat yang melakukan praktek perorangan/kelompok harus memiliki SIPP. Pada pasal 9 disebutkan, SIK diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Selanjutnya, pada Pasal 12, SIPP diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Keberadaan SIK dan SIPP merupakan hal yang wajib bagi seorang perawat yang membuka praktik mandiri. SIK dan SIPP merupakan syarat untuk mengantongi izin membuka praktik mandiri.
Pada Pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau pendidikan perawat dengan kompetensi lebih tinggi. Hal ini berarti, yang berhak membuka praktek mandiri perawat minimal perawat dengan pendidikan DIII.
Namun, ternyata terdapat kesenjangan antara kondisi ideal dengan kenyataan. Di berbagai daerah di Indonesia melaporkan adanya perawat yang membuka praktik mandiri tanpa mengantongi SIK dan SIPP. Misalkan, di salah satu daerah di Jawa Tengah, banyak perawat-perawat yang membuka praktek mandiri, namun setelah ditelusuri lebih lanjut mereka tidak memiliki SIPP. Ada sebagian yang menyatakan bahwa prosedurnya terlalu rumit sehingga tidak sempat untuk mengurusnya.
Menurut Bangka Pos (2009), berdasarkan catatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Bangka Belitung dari 300 perawat di Kota Pangkalpinang belum satupun yang memiliki SIK dan SIPP, padahal banyak yang memberikan pengobatan medis kepada masyarakat. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian Rivai (2008), sebagian besar perawat belum memiliki SIK.
Diberitakan dalam Batam Pos (2009), seorang perawat ditangkap oleh polsek setempat karena membuka praktik perawat tanpa izin dari Dina Kesehatan Kabupaten atau Kota. Hal yang sama juga terjadi di Gunung Kidul Yogyakarta, banyak perawat yang membuka praktik mandiri tertangkap oleh sweeeping yang dilakukan dinas kesehatan. Lebih lanjut, menurut moderato FM (2009), seorang perawat membuka praktek mandiri tanpa izin dari dinas kesehatan setempat dan harus berurusan dengan pihak mapolres.
Tindakan perawat yang tidak mengantongi izin berupa SIK dan SIPP dapat mengarah pada malpraktek. Malpraktek merupakan kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan lmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja, tindakan kelalaian, ataupun sesuatu kekurangmahiran. Malpraktek dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni criminal malpractice, civil malpractice, dan administrative malpractice.
Tindakan perawat yang tidak mengantongi izin berupa SIK dan SIPP termasuk administrative malpractice. Pelanggaran hukum administrasi adalah sebagai jalan menuju malpraktik.

Hak dan Kewajiban
Kewajiban perawat
Salah satu kewajiban perawat berdasarkan Kepmenkes 1239/2001 menyebutkan bahwa perawat harus mencantumkan Surat Izin Praktek Perawat (SIPP) di ruang praktiknya (Pasal 21). Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad rivai dkk (2008) menunjukkan bahwa sebagian perawat belum memiliki SIPP. Hal ini berarti, terdapat perawat yang tidak memenuhi kewajiban perawat sebagaimana tercantum dalam Kepmenkes 1239/2001 yaitu mencantumkan Surat Izin Praktek Perawat di ruang praktiknya.
Dalam Kepmenkes Pasal 21 ayat (2), menyebutkan bahwa perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek. Lain halnya dengan yang terjadi di salah satu kota di Jawa Timur. Berdasarkan website alumni FIK-UI, terdapat perawat yang membuka praktik mandiri perawat dengan memasang papan nama. Walaupun, sudah memiliki SIPP, namun memasang papan nama tetap diperbolehkan.
Hak Perawat
Pernyataan hak dalam Kepmenkes 1239/2001 tidak tertulis secara jelas. Dalam Kepmenkes menentukan kewenangan dalam melaksanakan praktik keperawatan. Salah satu kewenangan perawat yang terdapat dalam Pasal 15 kepmenkes 1239/2001 yaitu pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter. Perlu digarisbawahi, pada dasarnya perawat tidak diperkenankan melaksanakan praktik medis. Hal ini mendapat perkecualian yaitu apabila terdapat permintaan tertulis dari dokter dan dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seorang pasien.
Namun, realita dilapangan menyatakan sebaliknya. Sebagian besar perawat yang membuka praktik mandiri melakukan praktik medik secara bebas, dalam artian tidak mendapat permintaan tertulis dari dokter. Seperti yang dikutip oleh Radar Madura (2009) yang menyebutkan sedikitnya ada lima lokasi perawat yang buka praktik ala dokter. Antara lain, di Kecamatan Pakong, Kota Pamekasan, Tlanakan, dan Palengaan. Kelimanya memberikan pelayanan ala rumah sakit. Lebih lanjut menurut Radar Madura, masyarakat lebih memilih praktek perawat dalam pengobatannya dikarenakan harganya murah. Hal yang sama juga terjadi di salah satu kabupaten di jawa tengah, perawat lebih memilih membuka praktek pengobatan dari pada praktek keperawatan. Hal ini dikarenakan, praktek pengobatan lebih memasyarakat dari pada praktek keperawatan.

PENUTUP
Praktik keperawatan mandiri sudah banyak dilakukan oleh perawat. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1239/Menkes/SK/IX/2001 menjadi payung hukum bagi perawat yang membuka praktik mandiri. Namun, dalam pengaplikasiannya, terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan Kepmenkes 1239/2001. Berikut ini, beberapa fakta dilapangan terkait praktik mandiri perawat :
1. Terdapat perawat yang membuka praktik mandiri tidak memiliki SIK dan SIPP.
2. Terdapat perawat yang memasang papan nama.
3. Terdapat perawat yang melakukan praktik medis dari pada praktik keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA
Bangka Pos. 2009. Buka Praktek Harus Punya SIK dan SIPP. http://www.bangkapos.com

Batam Pos. 2009. Perawat Tidak Boleh Buka Praktik. http://www.batampos.com

Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang : Bayu Media Publishing.

Praptianingsih, S. 2006. Kedudukan Hukum Perawat Dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: PT. Raja Grafindo Prsada.

Rivai, dkk. 2008. Kebijakan Praktik Perawat.

Radar Madura. 2009. Perawat Kena Sweeping. http://www.radarmadura.com

Jumat, 19 Februari 2010

Bayi Ditahan Rumah Sakit = Bentuk Pelanggaran Nilai-Nilai Kemanusiaan

Kasus yang menimpa Suharni dan Santi berikut dua bayi mereka. Keempatnya masih tertahan - 4 bulan dan 2 minggu -di RS Bersalin Sofa Marwa, Jagakarsa, Jakarta Selatan, karena tak mampu membayar biaya persalinan. Mereka tak sanggup membayar biaya operasi caesar masing-masing Rp 5 juta. Selama dalam "penyanderaan", mereka juga diwajibkan membayar biaya Rp 100.000 per hari. Kasus serupa menimpa Gatot dan istrinya. Bayi mereka disandera oleh Rumah Sakit Surabaya Medical Service (SMS) karena tak mampu membayar biaya operasi melahirkan isterinya. Pihak Rumah Sakit juga memberikan surat pernyataan, jika Gatot menyatakan mau menitipkan bayi ke rumah sakit selama paling lama 2 hari. Bila selama 2 hari tidak datang untuk mengambil bayi dan melunasi biaya, akan diserahkan ke pihak III (polisi). Yang paling menggegerkan adalah kasus yang menimpa pasangan Nurul Istiqomah (25) dan Abdul Karim (40) warga Kab. Probolinggo. Bayi perempuannya yang berusia 3 hari meninggal di RSUD Waluyo Jati. Ironisnya jenazah bayi tersebut tidak boleh dibawa pulang sebelum membayar biaya perawatan.

Kasus-kasus diatas sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pihak penyedia layanan kesehatan menyadari betul apa arti pelayanan kesehatan. Pasal 28 H (1) UUD ’45 amandemen 2002 jelas menyebutkan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan” . Ini diperkuat dengan Pasal 2 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa ‘ Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama”.

Dalam pelayanan kesehatan selau mengandung dua fungsi: fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Artinya selain memberi pelayanan juga mendapatkan keuntungan. Jika kita merujuk pada UU No 36 Tahun 2009 Sudah jelaslah bahwa dalam upaya pelayanan kesehatan maka asas perikemanusiaan menjadi faktor yang utama. Artinya fungsi sosial kemanusiaan lebih diutamakan dripada fungsi ekonomi. Pertanyaannya: apakah dokter boleh mendapatkan mendapatkan imbalan? Tentu saja boleh. Pasal 50 (d) UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik kedokteran menyebutkan bahwa “dokter berhak mendapatkan imbalan atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan”. Asalkan imbalan itu tidak lepas dari nilai perikemanusiaan dan kejujuran.

Jika kita kembali dalam kasus penahanan bayi, pihak rumah sakit tentu sudah melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan nilai sosial. Selain itu juga dalam konteks perdata, yang disita jika seseorang tidak mampu membayar adalah barang (yang mempunyai nilai ekonomis). Pertanyaannya adalah apakah bayi itu barang? Bahkan menurut saya dalam kasus-kasus tersebut pihak pasien bisa menuntut rumah sakit atas kasus penyanderaan yang dilakukan terhadap bayinya.

Akhirnya, apakah Hipokrates masih bisa tersenyum melihat nilai-nilai yag dia tanamkan dulu disesatkan oleh generasi saat ini.?

  © Blogger template Werd by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP