Cari Artikel

Jumat, 19 Februari 2010

Bayi Ditahan Rumah Sakit = Bentuk Pelanggaran Nilai-Nilai Kemanusiaan

Kasus yang menimpa Suharni dan Santi berikut dua bayi mereka. Keempatnya masih tertahan - 4 bulan dan 2 minggu -di RS Bersalin Sofa Marwa, Jagakarsa, Jakarta Selatan, karena tak mampu membayar biaya persalinan. Mereka tak sanggup membayar biaya operasi caesar masing-masing Rp 5 juta. Selama dalam "penyanderaan", mereka juga diwajibkan membayar biaya Rp 100.000 per hari. Kasus serupa menimpa Gatot dan istrinya. Bayi mereka disandera oleh Rumah Sakit Surabaya Medical Service (SMS) karena tak mampu membayar biaya operasi melahirkan isterinya. Pihak Rumah Sakit juga memberikan surat pernyataan, jika Gatot menyatakan mau menitipkan bayi ke rumah sakit selama paling lama 2 hari. Bila selama 2 hari tidak datang untuk mengambil bayi dan melunasi biaya, akan diserahkan ke pihak III (polisi). Yang paling menggegerkan adalah kasus yang menimpa pasangan Nurul Istiqomah (25) dan Abdul Karim (40) warga Kab. Probolinggo. Bayi perempuannya yang berusia 3 hari meninggal di RSUD Waluyo Jati. Ironisnya jenazah bayi tersebut tidak boleh dibawa pulang sebelum membayar biaya perawatan.

Kasus-kasus diatas sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pihak penyedia layanan kesehatan menyadari betul apa arti pelayanan kesehatan. Pasal 28 H (1) UUD ’45 amandemen 2002 jelas menyebutkan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan” . Ini diperkuat dengan Pasal 2 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa ‘ Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama”.

Dalam pelayanan kesehatan selau mengandung dua fungsi: fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Artinya selain memberi pelayanan juga mendapatkan keuntungan. Jika kita merujuk pada UU No 36 Tahun 2009 Sudah jelaslah bahwa dalam upaya pelayanan kesehatan maka asas perikemanusiaan menjadi faktor yang utama. Artinya fungsi sosial kemanusiaan lebih diutamakan dripada fungsi ekonomi. Pertanyaannya: apakah dokter boleh mendapatkan mendapatkan imbalan? Tentu saja boleh. Pasal 50 (d) UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik kedokteran menyebutkan bahwa “dokter berhak mendapatkan imbalan atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan”. Asalkan imbalan itu tidak lepas dari nilai perikemanusiaan dan kejujuran.

Jika kita kembali dalam kasus penahanan bayi, pihak rumah sakit tentu sudah melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan nilai sosial. Selain itu juga dalam konteks perdata, yang disita jika seseorang tidak mampu membayar adalah barang (yang mempunyai nilai ekonomis). Pertanyaannya adalah apakah bayi itu barang? Bahkan menurut saya dalam kasus-kasus tersebut pihak pasien bisa menuntut rumah sakit atas kasus penyanderaan yang dilakukan terhadap bayinya.

Akhirnya, apakah Hipokrates masih bisa tersenyum melihat nilai-nilai yag dia tanamkan dulu disesatkan oleh generasi saat ini.?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  © Blogger template Werd by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP