Persetujuan tindakan medik adalah terjemahan yang sering dipakai untuk istilah informed consent. Informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Informed consent mempunyai fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent).
Pasien sebagai individu mempunyai otonomi harus memberikan persetujuan terlebih dahulu terhadap pemeriksaaan medis, pengobatan, atau tindakan medis yang akan dilakukan terhadap tubuhnya setelah mendapat penjelasan dari dokter. Persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan), yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan).
2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak diinginkan yang mungkin timbul.
3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi atau untuk pasien.
4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung.
5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaga.
6. Prognosis mengenai kondisi medis pasien jika ia menolak tindakan medis tertentu tersebut.
Persetujuan tindakan medik diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Menurut pasal 45 (1) dinyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada ayat (2) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap”. Lebih lanjut pada ayat (4) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan” dan pada ayat (5) di jelaskan “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan”. Ketentuan lebih mendalam tentang persetujuan tidakan medik akan diatur dengan peraturan menteri sebagaimana yang dijelaskan pada ayat (6).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.
Dalam istilah ilmu hukum perdata yang melakukan pengurusan kepentingan orang lain dinamakan zaakwaarnemer atau gestor (dokter) sedangkan yang mempunyai kepentingan dinamakan dominus (pasien). Untuk menentukan apakah suatu perbuatan seseorang merupakan zaakwaarneming atau tidak, perlu dilihat apa yang terdapat di dalam perbuatan itu. Syarat-syarat adanya zaakwaarneming adalah sebagai berikut:
a. Yang diurus (diwakili) oleh zaakwaarnemer adalah kepen¬tingan orang lain, bukan kepentingan dirinya sendiri.
b. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan zaakwaarnemer dengan sukarela, artinya karena kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan/upah apapun, dan bukan karena kewajiban yang timbul dari undang-undang maupun perjanjian.
c. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan oleh zaakwaarnemer tanpa adanya perintah (kuasa) melainkan atas inisiatif sendiri.
d. Harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindak sebagai zaakwaarnemer misalnya, keadaan yang mendesak untuk berbuat.
Dalam konteks kesehatan, dalam keadaan yang mendesak seperti dalam keadaan kegawatdaruratan maka dokter dapat melakukan tindakan medik untuk menyelamatkan jiwa atau penyelamatan anggota tubuh pasien tanpa persetujuan.
KESIMPULAN
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, E.K. 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia.
Guwandi, J. 2008. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Komalawati, V. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Pramana, B.T. 2007. Tinjauan Yuridis Terhadap Informed consent Sebagai Dasar Dokter Dalam Melakukan Penanganan Medis Yang Berakibat Malpraktek. Skripsi : Universitas Islam Indonesia.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2008. KUH Perdata. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
Supriadi, W. C. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung : Mandar Maju.
Syahrani, R. 2006. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT. Alumni.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Informed consent mempunyai fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent).
Pasien sebagai individu mempunyai otonomi harus memberikan persetujuan terlebih dahulu terhadap pemeriksaaan medis, pengobatan, atau tindakan medis yang akan dilakukan terhadap tubuhnya setelah mendapat penjelasan dari dokter. Persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan), yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan).
2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak diinginkan yang mungkin timbul.
3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi atau untuk pasien.
4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung.
5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaga.
6. Prognosis mengenai kondisi medis pasien jika ia menolak tindakan medis tertentu tersebut.
Persetujuan tindakan medik diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Menurut pasal 45 (1) dinyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada ayat (2) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap”. Lebih lanjut pada ayat (4) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan” dan pada ayat (5) di jelaskan “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan”. Ketentuan lebih mendalam tentang persetujuan tidakan medik akan diatur dengan peraturan menteri sebagaimana yang dijelaskan pada ayat (6).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan anti-venom ular.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.
Dalam istilah ilmu hukum perdata yang melakukan pengurusan kepentingan orang lain dinamakan zaakwaarnemer atau gestor (dokter) sedangkan yang mempunyai kepentingan dinamakan dominus (pasien). Untuk menentukan apakah suatu perbuatan seseorang merupakan zaakwaarneming atau tidak, perlu dilihat apa yang terdapat di dalam perbuatan itu. Syarat-syarat adanya zaakwaarneming adalah sebagai berikut:
a. Yang diurus (diwakili) oleh zaakwaarnemer adalah kepen¬tingan orang lain, bukan kepentingan dirinya sendiri.
b. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan zaakwaarnemer dengan sukarela, artinya karena kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan/upah apapun, dan bukan karena kewajiban yang timbul dari undang-undang maupun perjanjian.
c. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan oleh zaakwaarnemer tanpa adanya perintah (kuasa) melainkan atas inisiatif sendiri.
d. Harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindak sebagai zaakwaarnemer misalnya, keadaan yang mendesak untuk berbuat.
Dalam konteks kesehatan, dalam keadaan yang mendesak seperti dalam keadaan kegawatdaruratan maka dokter dapat melakukan tindakan medik untuk menyelamatkan jiwa atau penyelamatan anggota tubuh pasien tanpa persetujuan.
KESIMPULAN
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, E.K. 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia.
Guwandi, J. 2008. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Komalawati, V. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Pramana, B.T. 2007. Tinjauan Yuridis Terhadap Informed consent Sebagai Dasar Dokter Dalam Melakukan Penanganan Medis Yang Berakibat Malpraktek. Skripsi : Universitas Islam Indonesia.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2008. KUH Perdata. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
Supriadi, W. C. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung : Mandar Maju.
Syahrani, R. 2006. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT. Alumni.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.